Minerba.id – Transisi energi global dari bahan bakar fosil menuju energi terbarukan menciptakan pergeseran drastis dalam struktur permintaan mineral dunia. Mineral seperti litium, nikel, kobalt, tembaga, dan tanah jarang kini menjadi “emas baru” bagi industri modern. Semua perangkat yang menopang ekonomi hijau—baterai mobil listrik, panel surya, turbin angin, dan jaringan listrik cerdas—membutuhkan mineral dalam jumlah besar. Akibatnya, banyak negara dan perusahaan tambang berlomba-lomba meningkatkan produksi untuk memenuhi kebutuhan tersebut.
Namun, lonjakan permintaan ini menimbulkan tekanan besar terhadap rantai pasok global. Pasokan mineral kritis sangat terkonsentrasi di beberapa negara, menciptakan ketergantungan yang rawan secara geopolitik. Negara seperti Republik Demokratik Kongo, yang menguasai sebagian besar cadangan kobalt dunia, atau Indonesia yang menjadi produsen utama nikel, kini memegang posisi strategis. Ketika permintaan meningkat, tekanan terhadap eksploitasi sumber daya juga kian besar.
Di sisi lain, peningkatan eksplorasi dan produksi tidak selalu dibarengi dengan kesiapan infrastruktur, tata kelola, dan perlindungan lingkungan. Banyak wilayah tambang baru muncul di kawasan sensitif secara ekologis atau di tengah komunitas adat. Kondisi ini menimbulkan dilema antara kebutuhan ekonomi global dan tanggung jawab terhadap kelestarian bumi. Permintaan “hijau” dari negara maju seringkali berbenturan dengan dampak “kotor” di negara berkembang.
Transisi energi yang semula diharapkan menjadi solusi perubahan iklim justru berpotensi melahirkan bentuk baru dari ketimpangan global. Negara penghasil bahan mentah menghadapi beban sosial dan lingkungan, sementara negara pengolah dan pemakai teknologi rendah karbon menikmati manfaat ekonominya. Oleh karena itu, masa depan industri tambang akan bergantung pada seberapa jauh dunia mampu membangun sistem rantai pasok mineral yang adil dan berkelanjutan.









