Minerba.id – Mineral kini menjadi senjata strategis dalam politik global. Di era transisi energi, siapa yang menguasai pasokan mineral kritis, dialah yang mengendalikan masa depan ekonomi dunia. Situasi ini mendorong lahirnya “nasionalisme sumber daya”, di mana negara-negara penghasil berusaha memperoleh kendali lebih besar atas ekspor dan nilai tambah mineral mereka. Contohnya, Indonesia melarang ekspor bijih nikel mentah dan mendorong pembangunan industri pengolahan di dalam negeri untuk meningkatkan pendapatan nasional.
Kebijakan semacam itu menimbulkan pergeseran dalam rantai pasok global. Negara-negara maju yang selama ini bergantung pada impor bahan mentah kini harus mencari alternatif atau berinvestasi langsung di negara produsen. Dalam konteks ini, hubungan antara negara produsen dan konsumen menjadi semakin kompleks. Di satu sisi, kebijakan protektif dapat memperkuat kedaulatan ekonomi nasional; di sisi lain, dapat memicu ketegangan dagang internasional.
Persaingan geopolitik antara kekuatan besar seperti Amerika Serikat, Uni Eropa, dan Tiongkok turut memperuncing situasi. Tiongkok, misalnya, menguasai sebagian besar rantai pasok pemrosesan mineral dunia, termasuk rare earth elements. Negara-negara Barat berusaha mengurangi ketergantungan tersebut dengan membangun rantai pasok alternatif, tetapi prosesnya memerlukan waktu dan investasi besar. Akibatnya, dunia menghadapi fragmentasi baru dalam perdagangan mineral strategis.
Fenomena nasionalisme sumber daya juga berdampak pada politik domestik di negara produsen. Pemerintah sering menghadapi dilema antara menarik investasi asing dan melindungi kepentingan nasional. Di sisi lain, masyarakat menuntut agar kekayaan alam tidak hanya menjadi sumber pendapatan negara, tetapi juga kesejahteraan rakyat. Ketegangan antara kepentingan global dan lokal ini menciptakan lanskap baru dalam ekonomi politik tambang.
Dalam konteks global, nasionalisme sumber daya dapat menjadi peluang maupun ancaman. Jika dikelola dengan bijak, ia dapat memperkuat kemandirian ekonomi. Namun, jika dipolitisasi tanpa perencanaan, ia berisiko menimbulkan instabilitas dan mengganggu keseimbangan pasar dunia. Tantangan terbesar adalah menciptakan tata kelola yang transparan, adil, dan berbasis kerja sama internasional yang saling menguntungkan.












