Kasus Korupsi Firli Bahuri: Kronologi, Keterlambatan Proses, dan Potensi Pelanggaran Hukum

OPINI10 Dilihat
banner 468x60

Ditulis oleh : Rahmat Arafat Nasution, SE.Ak. SH., M.Ak., CTT (Managing Partner RAN Law Office)

Minerba.id – Kasus dugaan pemerasan dan gratifikasi yang menjerat Firli Bahuri, mantan Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), telah menjadi sorotan publik sejak akhir 2023. Kasus ini melibatkan interaksi mencurigakan antara Firli dan mantan Menteri Pertanian Syahrul Yasin Limpo (SYL), dengan nilai suap mencapai Rp 7,468 miliar dalam bentuk mata uang asing. Hingga Oktober 2025, proses hukum masih terhambat di Polda Metro Jaya, memicu perdebatan tentang kinerja penyidik dan kepatuhan terhadap regulasi.​

banner 336x280

Latar Belakang dan Modus Operandi

Kasus bermula dari penyelidikan KPK terhadap dugaan korupsi di Kementerian Pertanian sejak Juni 2023, ketika SYL pertama kali diperiksa sebagai saksi. Penggeledahan rumah dinas SYL pada September 2023 membuka lapisan lebih dalam, di mana SYL mengungkap tekanan dari Firli untuk membayar agar penanganan kasusnya tidak ketat. Firli ditetapkan tersangka pada 22 November 2023, dengan tuduhan melanggar Pasal 12e (pemerasan jabatan), Pasal 12B (gratifikasi), dan Pasal 11 Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, yang mengancam hukuman hingga seumur hidup.​

Modusnya melibatkan pertemuan dan komunikasi sejak 2020, di mana Firli memanfaatkan jabatannya untuk meminta uang melalui money changer dari Februari 2021 hingga September 2023. Interaksi awal terjadi di lapangan bulutangkis pada Maret 2022, yang awalnya disangkal Firli sebelum diakui. KPK telah memeriksa 91 saksi dan 7 ahli, tapi proses bergeser ke Polda Metro Jaya setelah Dewan Pengawas KPK memvonis Firli bersalah atas tiga pelanggaran etik berat pada Desember 2023, yang berujung pada pengundurannya.​

Status Proses Hukum Terkini

Hampir dua tahun berlalu, kasus tetap mandek di tahap penyidikan dengan status P-19 sejak Juli 2025, di mana berkas perkara dikembalikan Kejaksaan Tinggi DKI Jakarta untuk pelengkapan bukti. Firli mengajukan gugatan praperadilan berulang, termasuk yang ketiga pada 2024, tapi putusan Desember 2024 menyatakan gugatan tidak dapat diterima secara formil. Polda Metro Jaya membantah mangkrak, dengan alasan kompleksitas bukti transaksi valas dan koordinasi dengan kasus terkait, meskipun pergantian Kapolda pada Oktober 2025 diharapkan mempercepat proses.​

Masyarakat Anti Korupsi Indonesia (MAKI) menggugat Polda dan Kejati DKI atas keterlambatan, menuntut penahanan Firli untuk memastikan kepastian hukum. Kasus lain seperti dugaan bocornya operasi tangkap tangan Harun Masiku pada 2025 ikut mempersulit, tapi prioritas tetap pada perkara SYL.​​

Potensi Pelanggaran dan Sanksi bagi Penyidik

Keterlambatan ini memunculkan tudingan pelanggaran terhadap Perkapolri Nomor 6 Tahun 2019 tentang Penyidikan Tindak Pidana, yang membatasi waktu penyelesaian perkara berdasarkan tingkat kesulitannya—hingga 120 hari untuk kasus sangat sulit—serta KUHAP Pasal 1 ayat (2) jo Pasal 5, yang menekankan proses cepat dan memadai. Pengacara Firli menyoroti cacat formil sejak penetapan tersangka tanpa dua alat bukti minimal, tapi gugatan praperadilan ditolak.​

Sanksi bagi penyidik yang lalai termasuk disiplin internal Polri berdasarkan PP Nomor 2 Tahun 2003, seperti teguran, penundaan promosi, mutasi, atau pembebasan jabatan melalui sidang Propam. Namun, tidak ada sanksi pidana langsung kecuali terbukti maladministrasi. Indonesia Corruption Watch (ICW) menilai ini melanggar asas kepastian hukum dalam UU KPK, berpotensi melemahkan penegakan antikorupsi.​

Analisis dan Opini Ahli

Secara keseluruhan, meskipun belum ada putusan pengadilan yang menyatakan pelanggaran nyata, keterlambatan ini dianggap merusak integritas proses hukum oleh para ahli. Kapolda mengakui lambatnya penanganan karena kehati-hatian bukti, tapi Kapolri menegaskan kepatuhan prosedur. Opini dari antikorupsi.org menekankan evaluasi internal Polri untuk menghindari konflik kepentingan, sementara publik melihatnya sebagai isu akuntabilitas yang perlu segera diselesaikan.​​

Kasus ini menjadi pelajaran berharga tentang tantangan dalam menangani korupsi di kalangan elite, di mana kecepatan proses hukum krusial untuk menjaga kepercayaan masyarakat terhadap lembaga penegak hukum.​

Jakarta, 20 Oktober 2025

banner 336x280

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *