Produksi & Permintaan Global Etanol: Gambaran Dekade Terakhir

Minerba.id – Pernahkah Anda berpikir bahwa setiap kali mengisi bensin, mobil Anda mungkin mengonsumsi etanol — bahan bakar yang berasal dari jagung, tebu, atau limbah pertanian? Sepuluh tahun lalu, etanol hanyalah alternatif ramah lingkungan yang masih diperdebatkan. Kini, ia telah menjelma menjadi salah satu pilar penting energi global, memengaruhi industri, perdagangan internasional, bahkan strategi negara-negara dalam menghadapi perubahan iklim.

Dari Amerika Serikat hingga Brasil, dari Eropa ke Asia Tenggara, permintaan etanol naik-turun bak roller coaster, terdorong kebijakan pemerintah, harga bahan baku, hingga krisis global seperti pandemi COVID-19. Dalam dekade terakhir, etanol tidak lagi sekadar “bahan bakar hijau” — ia adalah simbol transisi menuju masa depan energi bersih.

Dalam artikel ini, kita akan menelusuri perjalanan etanol selama sepuluh tahun terakhir: siapa saja yang memimpin pasar, bagaimana teknologi dan kebijakan membentuk permintaan, dan mengapa etanol tetap relevan di tengah gelombang kendaraan listrik yang makin populer.

Etanol, dari Bahan Bakar Alternatif Menjadi Pilar Transisi Energi

Dalam sepuluh tahun terakhir, dunia menyaksikan perubahan besar dalam lanskap energi terbarukan. Salah satu bintangnya adalah etanol – bahan bakar cair yang dulu dianggap sekadar alternatif, kini menjadi bagian penting dari strategi energi nasional di berbagai negara.

Menurut laporan Global Bioenergy Statistics 2024, produksi etanol dunia mencapai sekitar 116 miliar liter pada 2023, meningkat hampir 25% dibandingkan 2015. Dengan capaian itu, etanol menempati posisi utama dalam kategori biofuel cair untuk sektor transportasi.

Pergerakan ini bukan sekadar statistik. Ia menggambarkan upaya global untuk menyeimbangkan kebutuhan energi, stabilitas ekonomi, dan komitmen terhadap penurunan emisi karbon.

Naik-Turun Industri Etanol Selama Satu Dekade

Periode 2015–2019 menjadi masa keemasan bagi industri etanol global. Pemerintah di berbagai negara memperluas kebijakan renewable fuel standard, yang mewajibkan pencampuran etanol dalam bensin dengan kadar tertentu—umumnya 10% hingga 15% (E10–E15).

Namun, pandemi COVID-19 pada 2020 menjadi titik balik dramatis. Ketika mobilitas global menurun drastis, permintaan bensin dan etanol ikut anjlok. Menurut International Energy Agency (IEA), produksi global etanol merosot sekitar 15% pada 2020, penurunan terbesar sepanjang sejarah biofuel modern.

“Pandemi membuat banyak kilang etanol berhenti operasi. Sebagian bahkan beralih sementara memproduksi bahan dasar sanitizer,” ungkap analis energi terbarukan dari International Energy Forum, dikutip Reuters (2021).

Pemulihan baru terlihat pada 2021–2023. Aktivitas ekonomi bangkit, permintaan bahan bakar meningkat, dan kebijakan energi bersih kembali dijalankan. Tahun 2023 menandai titik pemulihan penuh, dengan volume produksi global mendekati rekor baru.

Amerika Serikat dan Brasil: Dua Poros Dunia Etanol

Dua negara raksasa, Amerika Serikat dan Brasil, menguasai sekitar 80% produksi etanol dunia. Keduanya memiliki karakteristik yang berbeda namun saling melengkapi.

Amerika Serikat memproduksi etanol berbasis jagung, dengan dukungan kebijakan Renewable Fuel Standard (RFS). Negara ini mengandalkan teknologi tinggi dalam fermentasi dan distribusi biofuel. Brasil, di sisi lain, menghasilkan etanol berbasis tebu dengan intensitas karbon lebih rendah dan efisiensi energi lebih tinggi.

Model Brasil sering dianggap sebagai contoh ideal karena kombinasi antara emisi rendah, keberlanjutan bahan baku, dan efisiensi biaya. Di sana, mobil flex fuel – yang bisa menggunakan bensin atau etanol murni — menjadi pemandangan umum sejak dua dekade lalu.

Kedua negara ini juga memainkan peran besar di perdagangan internasional. Ketika harga minyak dunia naik, ekspor etanol dari Amerika Serikat dan Brasil melonjak, terutama ke pasar Eropa dan Asia. Sebaliknya, saat harga minyak rendah, konsumsi domestik lebih diutamakan.

Asia: Pusat Pertumbuhan Baru Permintaan Etanol

Sementara Amerika dan Brasil tetap dominan, dekade terakhir menunjukkan pergeseran geografis: Asia muncul sebagai pasar dan produsen baru yang menjanjikan.

India meluncurkan program E20 Fuel – target pencampuran etanol 20% pada 2025. Pemerintah India mengklaim, kebijakan ini bisa menghemat lebih dari USD 4 miliar per tahun dari impor minyak.

China juga sempat mengumumkan rencana nasional E10, namun realisasinya tertunda akibat keterbatasan pasokan jagung domestik.

Indonesia kini menyiapkan mandat bioethanol 10% (E10) pada 2027, dengan bahan baku dari molases dan singkong. Program ini melengkapi keberhasilan B35 di sektor biodiesel.

Menurut IEA (2023), Asia akan menjadi penggerak utama pertumbuhan permintaan etanol global pada dekade mendatang. “Kawasan ini menjadi laboratorium kebijakan energi baru — menggabungkan keberlanjutan, kemandirian energi, dan pertumbuhan ekonomi,” tulis laporan tersebut.

Inovasi Teknologi: Dari Tebu ke Limbah Pertanian

Industri etanol tidak berhenti di generasi pertama. Kini, fokus riset global bergeser ke etanol generasi kedua (cellulosic ethanol) – biofuel yang diproduksi dari limbah pertanian seperti jerami padi, sekam, tongkol jagung, hingga bagasse (ampas tebu).

Proyek-proyek pilot di Amerika Serikat, Eropa, dan India menunjukkan hasil positif. Meski masih menghadapi tantangan biaya produksi tinggi, potensi pengurangan emisi yang dihasilkan mencapai hingga 80% dibanding etanol konvensional.

“Etanol selulosa adalah masa depan. Ia bisa memanfaatkan sisa pertanian yang selama ini dibuang dan menghasilkan energi bersih,” kata Dr. Ricardo Rodrigues, peneliti bioenergi dari University of São Paulo.

Tantangan yang Masih Membayangi

Meski prospeknya menjanjikan, industri etanol menghadapi sejumlah tantangan besar:

  1. Fluktuasi Harga Bahan Baku : Harga jagung dan tebu sangat dipengaruhi cuaca, kebijakan ekspor, serta permintaan pangan global. Ketika harga bahan baku naik, biaya produksi etanol ikut melonjak.
  2. Persaingan dengan Kendaraan Listrik (EV) : Pertumbuhan kendaraan listrik memicu kekhawatiran terhadap penurunan permintaan bahan bakar cair. Meski begitu, dampaknya diprediksi baru terasa setelah 2035 di sebagian besar pasar berkembang.
  3. Debat “Food vs Fuel” : Penggunaan komoditas pangan untuk bahan bakar masih menuai kritik. Negara-negara produsen berupaya mengatasinya dengan meningkatkan produktivitas pertanian dan memanfaatkan limbah organik.
  4. Standar Emisi dan Keberlanjutan : Semakin banyak negara menerapkan standar well-to-wheel untuk menilai total emisi dari bahan bakar. Etanol berbasis tebu unggul di sini, sedangkan etanol jagung masih berusaha menekan emisi melalui efisiensi proses produksi.

Etanol Sebagai “Jembatan” Energi Masa Depan

Dalam konteks transisi energi global, etanol berperan sebagai jembatan antara bahan bakar fosil dan energi bersih sepenuhnya. Ia memberikan alternatif realistis bagi negara berkembang yang belum siap beralih penuh ke listrik.

Brasil kini tengah mengembangkan mobil hibrida flex fuel, yang bisa berjalan dengan kombinasi listrik dan etanol. Pendekatan ini dinilai lebih cepat diterapkan ketimbang elektrifikasi total.

“Etanol bukan kompetitor bagi mobil listrik, tetapi pelengkap dalam perjalanan menuju ekonomi rendah karbon,” ujar analis energi di IEA Bioenergy, Sarah Lee, dalam laporan 2023.

Produksi Global Etanol 2015–2023: Perjalanan Satu Dekade

Dalam sepuluh tahun terakhir, produksi global etanol menunjukkan tren kenaikan yang cukup signifikan, meski mengalami beberapa penurunan tajam akibat krisis global. Pada 2015, produksi dunia berada di angka sekitar 90 miliar liter, saat industri biofuel mulai mendapat perhatian lebih luas melalui kebijakan pencampuran bahan bakar di banyak negara.

Memasuki 2018, produksi melonjak ke sekitar 105 miliar liter, didorong oleh ekspansi kapasitas pabrik di Amerika Serikat dan Brasil serta meningkatnya permintaan dari Eropa dan Asia. Namun pada 2020, pandemi COVID-19 menghentikan laju pertumbuhan; produksi global menurun menjadi sekitar 87 miliar liter, karena mobilitas menurun drastis dan konsumsi bensin ikut menurun, sehingga permintaan etanol yang dicampur ke dalam bensin ikut anjlok.

Sejak 2021, pemulihan ekonomi global dan peningkatan mobilitas kendaraan mendorong produksi kembali naik. Pada 2022, produksi mencapai sekitar 110 miliar liter, dan tahun 2023 tercatat 116 miliar liter, menandai level tertinggi sepanjang dekade. Lonjakan ini mencerminkan ketahanan industri etanol serta peran pentingnya sebagai bahan bakar transisi di berbagai negara, meski menghadapi fluktuasi harga, tantangan pangan, dan tekanan dari kendaraan listrik.

Secara keseluruhan, dekade terakhir menunjukkan bahwa etanol bukan lagi bahan bakar niche, melainkan bagian penting dari strategi energi bersih global.

Penutup: Dari Niche ke Arus Utama

Satu dekade terakhir membuktikan bahwa etanol telah keluar dari bayang-bayang bahan bakar fosil. Dari 90 miliar liter menjadi 116 miliar liter, lonjakan ini bukan hanya soal volume, tetapi simbol evolusi industri energi terbarukan.

Etanol kini berdiri sejajar dengan energi surya dan angin sebagai bagian dari portofolio energi bersih dunia.
Masa depannya mungkin akan menghadapi persaingan dari listrik dan hidrogen, tetapi perannya sebagai bahan bakar transisi — efisien, ramah lingkungan, dan sudah teruji — masih jauh dari kata usai.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *